Setiap hubungan, sekuat dan sedewasa apa pun, pasti mengalami konflik. Salah satu momen paling menantang dalam hubungan adalah ketika pasangan sedang marah. Amarah bisa muncul dari hal kecil yang menumpuk, perasaan tidak dihargai, atau luka batin yang belum sembuh. Namun, di tengah badai emosi itu, kita dipanggil bukan untuk membalas dengan kemarahan, melainkan untuk mengerti, merangkul, dan menyembuhkan. Bagaimana caranya?
Diam Bukan Berarti Tidak Peduli — Dengarkan Lebih
Dulu
Ketika pasangan sedang marah, biasanya mereka tidak ingin langsung dinasihati atau disela. Mereka ingin didengar. Memberikan ruang untuk mereka mengekspresikan perasaan tanpa dihakimi adalah bentuk kasih yang dewasa.
“Setiap orang harus cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan lambat untuk marah.” (Yakobus 1:19)
Amarah Adalah Bahasa Luka yang Tidak Terucap
Di balik setiap luapan emosi seringkali tersembunyi
rasa sakit, kecewa, atau ketakutan. Alih-alih hanya melihat amarahnya, coba
tanyakan pada diri sendiri: Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apa yang
membuatnya merasa tidak aman?
Pahami emosi di balik kata-kata kasar—karena yang
terdengar belum tentu itulah yang dimaksud.
Hindari Membalas dengan Emosi
Membalas marah dengan marah hanya akan memperburuk luka yang ada. Saat satu pihak naik tensinya, pihak lain harus belajar untuk menjadi jangkar yang menenangkan.
“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” (Amsal 15:1)
Pilih Waktu yang Tepat untuk Bicara
Jangan memaksakan penyelesaian konflik saat pasangan masih emosional. Berikan waktu. Setelah ia tenang, baru ajak bicara dengan hati yang lembut dan terbuka. Waktu yang tepat akan mengubah diskusi panas menjadi percakapan yang menyembuhkan.
Tunjukkan Kasih dalam Tindakan Kecil
Kadang bukan argumen yang dibutuhkan pasangan kita, tapi segelas air, pelukan, atau tatapan penuh pengertian. Sikap sabar dan kasih bisa memadamkan api yang menyala.
Jangan Lupakan Doa
Saat kita tidak mengerti pasangan, Tuhan selalu
mengerti. Mintalah hikmat dalam menghadapi situasi. Doa bukan pelarian, tapi
kekuatan sejati untuk mengasihi saat emosi sulit dikendalikan.
“Kasih itu sabar, kasih itu murah hati... tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” (1 Korintus 13:4-5)
Memahami pasangan yang sedang marah bukan berarti
membenarkan setiap kemarahannya. Tapi itu berarti kita memilih untuk mengasihi
lebih dari membuktikan bahwa kita benar. Dalam rumah tangga, bukan siapa yang
menang yang penting, tetapi bagaimana kasih menang atas ego dan luka batin.
Dengan kasih Kristus, setiap konflik bisa menjadi
kesempatan untuk bertumbuh dan saling memahami lebih dalam.
No comments:
Post a Comment